Rabu, 08 Juli 2020

Al Allimul Al-Allamah Asy-Syaikh Seman Mulia



Al Allimul Al-Allamah Asy-Syaikh Seman Mulia (atau Syaikh Seman Mulya) adalah seorang ulama besar dari MartapuraKalimantan SelatanIndonesia. Masyarakat Martapura akrab memanggilnya dengan Guru Seman.

Ia mendalami Islam dari salah seorang gurunya yang juga adalah ulama besar Kalimantan saat itu, yakni Guru Kasyful Anwar.


Kisah salah satu ulama Banjar, Tuan Guru Semman Mulia dengan beberapa orang yang bermaksud ingin mencuri ayam di rumah beliau di Kelurahan Keraton, Martapura, Kabupaten Banjar. Belum sempat mencuri, para pencuri dipersilakan masuk ke rumah untuk menikmati ayam yang sudah dimasak.

Al Allimul Al-Allamah Asy-Syaikh Seman Mulia atau Tuan Guri Seman Mulia juga dikenal dengan sebutan Tuan Guru Semman Padang atau Tuan Guru Semman Bujang.

Dia adalah seorang ulama besar dari Martapura, Kalimantan Selatan, Indonesia. Masyarakat Martapura akrab memanggilnya dengan sebutan Tuan Guru Semman Mulia.

Tuan Guru Semman Mulia mendalami ilmu agama Islam dari salah seorang gurunya yang juga adalah ulama besar Kalimantan Selatan, yakni Tuan Guru Kasyful Anwar.

Tuan Guri Semman Mulia adalah paman sekaligus guru dari ulama kharismatik Martapura, Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau biasa dikenal dengan sebutan Guru Sekumpul.

Tuan Guru Semman Mulia mendidik Guru Sekumpul, baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika mendidik Guru Sekumpul, Tuan Guru Semman Mulia hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan itu kepada dia kecuali di sekolah. Tapi ia langsung mengajak dan mengantarkan dia mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kalimantan maupun di Jawa untuk belajar.

Misalnya, ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, Tuan Guru Semman mengajak (mengantarkan) dia kepada al-Alim al-Allamah Syaikh Anang Sya’rani Arif yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir.

Menurut Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Tuan Guri Seman Mulia adalah pakar di semua bidang keilmuan Islam. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Kedekatan paman dan kemenakan ini terlihat hingga di akhir hayat, di mana kubur mereka berduapun berdampingan di Komplek Ar-Raudhah, Martapura.

Dikisahkan, sutau malam ada beberapa orang mengendap-endap di luar rumah Tuan Guru Semman Mulia, berniat untuk mencuri ayam. Namun tiba-tiba terbukalah pintu rumah beliau, dan merekapun hendak lari. Tuan Guru Semman Mulia justru berkata, “Jangan mengambil yang masih hidup, di dalam rumah sudah kusediakan ayam yang sudah masak. Masuklah kalian semua!”

Ternyata di rumah Tuan Guru Semman Mulia memang sudah menyediakan makanan ayam yang sudah masak. Semua pencuri tadi disuruh makan sampai kenyang dan ketika hendak pulang, semua pencuri tadi masing-masing diberi uang dan dia berkata, “Pakailah uang ini untuk membuka usaha dan bertobatlah!”

Akhirnya semua pencuri tadi bertobat dan masing-masing membuka usaha, dan usaha tersebut semuanya laris, yang membuat para pencuri tadi hidup berkecukupan.

Minggu, 05 Juli 2020

Kehidupan Mbah Moen (Maimun zubair) Dimulai dari Nol Hingga Mendidik Keluarga



KH. Maimun Zubair alias Mbah Moen merupakan seorang ulama yang dilahirkan di daerah Sarang, Rembang, Jawa Tengah pada 90 tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober 1928.

Jejaknya mendalami ilmu tentang agama Islam merupakan turunan dari sanga ayah yang juga merupakan ulama besar, yakni almarhum Almaghfur Zubair.

Ayah dari almarhum Mbah Moen adalah murid dari ulama besar Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.

Semasa hidupnya, Mbah Moen berkeseharian mengasuh Pondok Pesantren Al Anwar yang juga lokasinya berada di Sarang, Rembang Jawa Tengah.

Para santri Al-Anwar setelah periode tahun 2000 banyak menyaksikan tentang kehidupan Mbah Maimoen yang sudah lumayan mapan. Tetapi apakah kehidupan beliau tiba-tiba saja mapan?. Tidak, kehidupan beliau terutama dalam kehidupan berkeluarga juga dimulai dengan nol.


Pernah pada suatu malam Idul Fithri, Syaikhona Maimoen Zubair sama sekali tidak mempunyai beras untuk digunakan sebagai zakat fithrah dan bahkan tidak mempunyai uang sedikit pun untuk membeli sekedar untuk jajan Idul Fithri, sedangkan waktu itu putra-putri beliau masih kecil-kecil.


Malam hari raya itu berjalan sampai pertengahan, dengan tetap tanpa ada yang membantu. Setelah pertengahan malam, Syaikhona Maimoen Zubair pun melaksanakan shalat tahajjud. Dalam sholat itu, beliau membaca berulang surat Al-Waqi’ah.


Pertolongan Yang Maha Kuasa seringkali datang pada waktu seseorang sudah sangat terpepet dan seolah-oleh hendak berputus asa.


Dan pertolongan itu pun datang pada waktu yang tepat.


مستهم البأساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين آمنوا معه متى نصر الله، ألا إن نصر الله قريب.

Pada saat subuh tiba, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah beliau. Orang itu datang dengan membawa beras yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah dan juga membawa sesuatu yang bisa digunakan untuk membeli jajan dan kebutuhan untuk Idul Fithri.


Mbah Maimoen juga bercerita bahwa dulu pada tahun enam puluhan, makanan sehari-hari beliau dan keluarga adalah “Sredek”, ketela pohon yang diparut kemudian dikeringkan agar awet. Parutan ketela itu kemudian dimasak kukus, setelah matang kemudian dicampur dengan parutan kelapa.


Saat masih kecil dulu, Wakil Gubernur Jawa Tengah Bapak Taj Yasin Maimoen dan adik beliau Bapak Idror Maimoen sarapan seringkali hanya dengan nasi putih dengan lauk telor setengah matang yang dicampur dengan kecap. Padahal waktu itu sudah memasuki tahun delapan puluhan. Ibunda mengatakan bahwa makanan itu menambah kecerdasan anak.


Gus Taj Yasin Maimoen bercerita bahwa dulu juga ikut membantu ibunda membuat es lilin untuk dijual.


Dari dulu makanan keseharian Mbah Maimoen memang apa adanya, tetapi bila ada tamu orang khusus semisal ulama’ dan pejabat negara, maka beliau akan membeli sate kambing maupun sate ayam sebagai penghormatan atas kunjungan tamu tersebut.


Saat awal pernikahan dulu, Mbah Maimoen juga belum mempunyai bantal untuk tidur.
Begitu pula dengan kendaraan, pertama kali beliau membeli Vespa ereg-ereg. Setelah itu membeli mobil pickup doplak, kemudian kijang hijau daun, kemudian kijang warna putih. Saat beliau mempunyai kijang warna putih, mobil ini juga digunakan untuk mengantar santri yang sakit. Semua adalah kendaraan bekas yang dibeli secara kontan.


Setelah itu beliau sedikit demi sedikit berganti kendaraan mulai dari Katana, BMW, Baleno, Mersi, kemudian Mazda. Setelah itu baru kemudian mempunyai Alphard. Dua kendaraan terakhir ini dibeli baru dengan kontan.
Mobil yang lumayan bagus itu dimiliki beliau setelah beliau sudah mulai berumur sepuh.


Suatu saat ada seorang santri beliau yang sudah berumah tangga berkata kepada beliau: “Mbah, Njenengan itu sudah sepuh. Agar perjalanan njenengan nyaman, maka sudah pantas njenengan memiliki mobil yang nyaman”.


Saat membelikan kendaraan putra-putri beliau yang sudah menikah, beliau biasanya membelikan mobil bekas. Hal itu memberikan pelajaran tentang kesederhanaan. Artinya beliau memberikan modal pertama berupa kendaraan bekas, walaupun setelah itu tetap membuka kesempatan untuk mengembangkan sehingga dimungkinkan bisa membeli mobil baru.


Gus Rojih bercerita bahwa kakek beliau Mbah Maimoen dawuh: “Kowe tak tukokno montor elek-elekan Yo. Nek mbangun omah ojo apik-apik”. (Kamu saya belikan mobil bekas ya, bila kamu membangun rumah, jangan terlalu megah).


Syaikhona Maimoen dulu pernah bekerja dengan membeli padi hasil panen Sarang. Padi kering itu kemudian dibawa ke Pati untuk dijadikan beras. Karena waktu itu di daerah Rembang belum ada penggilingan padi. Setelah menjadi beras, kemudian di jual di toko.


Beliau juga pernah berdagang sapi di pasar hewan Kragan Rembang beberapa waktu. Dan bahkan pernah menjadi kepala pasar Sarang selama sepuluh tahun.
Beliau juga pernah bekerja sebagai kepala TPI tempat pelelangan ikan Sarang Rembang.


Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun.
Pada tahun tujuh puluhan setelah beliau berumur empat puluh tahun, para santri banyak datang dan meminta menetap. Akhirnya beliau meninggalkan semua ikhtiar mencari rizki dan fokus mengurus pondok pesantren yang dulunya hanya sebuah tanah kosong di depan rumah beliau. Di tanah itu didirikan Musholla kecil dan kamar santri.


Setelah sekitar tujuh tahun setelah itu, beliau diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah selama tiga periode.


Dan setelah tahun sembilan delapan, Mbah Maimoen sudah tidak menjabat jabatan apa pun di dalam pemerintahan. Yaitu pada saat beliau berumur enam puluh sembilan tahun.


Waktu saya datang ke pondok tahun dua ribu tiga, sampai pada tahun dua ribu sebelas tamu juga tidak terlalu banyak yang sowan ke Yai.


Mulai dua ribu dua tiga belas sampai puncaknya tahun dua ribu sembilan belas, banyak tamu berdatangan mulai dari perseorangan sampai rombongan, dan mulai masyarakat pada umumnya maupun para Syaikh dari dalam dan luar negeri serta para pejabat.


Begitulah, bahwa kehidupan para kekasih ALLOH di dunia dipenuhi oleh perjuangan yang sangat lama, dan ALLOH memberikan sedikit kemenangan di akhir hayatnya dan biasanya tidak terlalu lama agar tidak mengurangi kenikmatan yang disediakan untuk para kekasih ALLOH di akhirat nanti.


وللآخرة خير لك من الأولى.


Pernah suatu ketika Mbah Maimoen dawuh kepada saya saat beliau melihat santri yang semakin banyak dan tamu yang datang terus menerus.


“Piye cong menurutmu?.” (Bagaimana nak menurutmu).


Entah mengapa saat itu saya teringat surat An-Nashr. Saya hanya menjawab:


إذا جاء نصر الله والفتح، ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا، فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا

Mendengar jawaban kanthongumur, beliau hanya terdiam dan melihat dengan pandangan yang jauh.


Dalam Al-Qur’an ALLOH selalu menceritakan masa-masa sulit para Nabi terdahulu sebagai pelajaran bahwa kita melihat orang hebat bukan hanya dari segi kesuksesannya saja, namun yang lebih penting kita bisa meniru perjuangannya dan masa-masa sulitnya.


Semoga kita bisa meniru dan meneladani.


النصر من الله، والفتح من الله، من كان في حاجة خير تقضيها له يا الله

Kamis, 02 Juli 2020

Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid (Habib tanggul)


Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid (Habib tanggul)
Pengarang Syair YA AHLA BAITIN NABI

Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil
Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid, dilahirkan di desa Qorbah Ba Karman, Hadramaut, Yaman pada 17 Jumadul Ula tahun 1313 H bertepatan pada tahun 1895 M. Di dalam manakib disebutkan bahwa silsilah dan nasab Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid sampai pada Rasulullah SAW yaitu, dari cucunya Iman Husein bin Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan garis keturunan tersebut, Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid termasuk ke dalam golongan sayyid. Pada golongan ini terbagi ke dalam kelompok- kelompok dengan jumlah yang sangat besar jumlah anggotanya. Di dalam tradisi keturunan Arab, setiap golongan dalam pemberian nama pada anaknya diikuti dengan marga dari kakek terdahulunya. Atas nasabnya tersebut, Habib Sholeh menyandang marga al-Hamid. Nasabnya menyambung sampai kepada Muhammad SAW yakni, dari garis keturunan ketiga puluh sembilan.

Habib Sholeh lahir dari keluarga seorang ulama sufi yang juga bekerja sebagai pedagang di Hadramaut. Ayahnya bernama Al Habib Muhsin bin Hamid sedangkan Ibunya bernama Aisyah. Menurut penuturan dari keturunannya saat di Hadramaut, Habib Muhsin kerap didatangi masyarakat Ba Karman untuk meminta barokah doa.Sedangkan Ibunya bernama Aisyah, berasal dari kalangan Al-Amudi dan nasabnya masih tersambung dengan Abu Bakar Asshidiq.

Berikut beberapa pendapat Habaib yang sezaman mengenai kepribadian Habib Sholeh yang termuat dalam Media Aswaja. Mereka mengakui keagungan derajat Habib Sholeh dan kemustajaban doanya.

Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi, Kwitang Jakarta mengatakan:
“Wahai Habib Sholeh engkau adalah orang yang doanya selalu terkabul dan engkau sangat dicintai oleh Tuhanmu dan segala perohonanmu selalu dikabulkan”

Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah, mengatakan:

“Sesungguhnya Habib Sholeh ini adalah seorang habib yang sangat agung kedudukannya dan amat tinggi martabatnya. Dan Dia doanya selalu terkabul dan sangat dicintai serta disegani”

Dari penuturan beberapa Habaib yang sezaman dengan Habib Sholeh menguatkan pendapat para pengikutnya bahwa Dia adalah orang yang sangat arif dan merupakan wali Allah SWT. Sehingga muncul keyakinan dikalangan mereka bahwa doa yang dipanjatkan oleh Habib Sholeh akan dikabulkan karena kedudukan tinggi martabatnya di sisi Allah SWT. Seperti konsep kedudukan yang dipaparkan oleh Soejono Soekanto mengenai ascribed status, merupakan status atau kedudukan yang diperoleh seseorang karena status yang melekat pada garis genealogisnya. Oleh sebab itu Habib Sholeh mendapatkan posisi dalam masyarakat karna dilatarbelakangi oleh genealogisnya yang bersambung dengan Nabi Muhammad SAW.

Riwayat Pendidikan
Habib Sholeh terlahir dari keluarga yang sederhana dan terdidik dalam lingkungan keagamaan yang baik. Sejak masih kecil Dia sudah diberikan bimbingan oleh ayah dan keluarganya. Pendidikannya dimulai dari daerah asalnya, Hadramaut. Pendidikan yang diajarkan oleh Habib Muhsin yakni mulai dari pendidikan dasar Islam, seperti dalam melaksanakan suatu praktik keagamaan dalam beribadah berdasarkan ajaran Rasulullah SAW. Disamping itu Dia juga mengerjakan Ilmu Fiqih dan Ilmu Tasawuf. Dia menimba pendidikan al- Qur’an di bawah bimbingan Asy-Syeikh Said Ba Mudhij di Wadi’ Amd, Hadramaut.

Pendidikan dalam keluarga yang sangat kuat menerapkan prinsip-prinsip keagamaan salaf, telah membentuk pribadi Habib Sholeh sebagai pecinta Ilmu. Sejak saat muda Dia gemar mengunjungi dan menimba ilmu dari da’i para ulama terkemuka. Dalam buku 17 Habaib Paling Berpengaruh di Indonesia Habib Sholeh bertemu beberapa Habaib terkemuka, dimana Dia menggali banyak Ilmu dan bertukar informasi.

Adapun ulama yang sering Dia kunjungi adalah Habib Abdullah bin Muhammad Assegaf (Gresik), Habib Husain Hadi Al Hamid (Mbrani – Probolinggo), Al- Habib Hamid bin Imam Al Habib Muhammad bin Salim as-Sry (Malang), Al Habib Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Putra dari Habib Ali Kwitang Jakarta). Sikap gemar menyambung silaturahmi kepada para ulama dan auliya inilah yang menjadi salah satu sifat keturunan alawiyyin. Pendidikan yang diajarkan di kalangan alawiyyin berada di dalam lingkungan salaf. Sehingga Dia membentuk karakter yang shaleh dan berakhlak terpuji dalam dirinya. Menurut Weber otoritas keagamaan yang dibangun oleh suatu tokoh didasari atas beberapa aspek yang melegitimasi penguasaan Ilmu agama, serta kharisma yang dimiliki oleh tokoh tersebut.

Pernikahan dan Keturunannya
Sebagian besar para habib dan keturunan Arab lainnya datang ke Indonesia masih berstatus lajang, sehingga kemudian memperistri perempuan lokal. Hal ini sesuai dengan buku karya Van den Berg yang menjelaskan bahwa sebagian besar orang Arab Hadramaut berhijrah ke Nusantara belum berkeluarga, kemudian mereka menetap dan menikah dengan wanita lokal.Adapun wanita yang diketahui menikah dengan Habib Sholeh Bin Muhsin Al Hamid, yaitu :

Seorang perempuan lokal bernama Khamsyi’ah , pada saat itu menjadi kembang desa di derah Tempeh Lumajang. Dari pernikahannya dengan wanita tersebut Habib Sholeh dikaruniai tiga anak diantaranya, Habib Abdullah (Alm) , Habib Ali (Alm) dan Syarifah Nur (Alm).
Setelah melanjutkan hidrah ke Tanggul Habib Sholeh menikahi seorang perempuan asli Tanggul bernama Siha, dan diketahui memiliki satu keturunan yaitu, Syarifah Fatimah. Dia sampai saat ini masih hidup dan tinggal di daerah Tanggul.
Habib Sholeh juga menikahi seorang perempuan lainnya asal Tanggul namun tidak diketahui namanya dan pernikahannya tersebut tidak dikaruniai anak.
Habib Sholeh mempersunting perempuan keturunan Arab bermarga Al Habsyi yang berasal dari Banyuwangi.Dia bernama Syarifah Fatimah binti Musthofa Al Habsyi. Atas pernikahnya Dia dikaruniai tiga anak yaitu, Habib Husain (Alm), Habib Ali (Alm), Syarifah Khodijah (masih hidup sampai saat ini).

Dengan pernikahannya ini Habib Sholeh memberikan pendidikan dasar Islam bagi penerus-penerusnya yang diharapkan dapat mendukung pengajaran Islam kelak. Khususnya dalam meneruskan nilai-nilai dakwah Islam yang telah ditanamkan oleh Habib Sholeh. Sehingga nilai- nilai dakwah yang telah disampaikan oleh Habib Sholeh dan para keturunannya bisa dengan mudah diterima masyarakat karena Dia memiliki garis keturunan golongan sayyid yang sangat dihormati. Hal ini merujuk pada konsep tokoh pendakwah sebagai mediator yang menafsirkan pesan Tuhan untuk umat, sehingga peran inilah yang menjadi salah satu sumber otoritas keagamaan yang dimiliki oleh Habib Sholeh yang didasari oleh garis genealogi.Sehingga Dia memperoleh kepercayaan kuat dari masyarakat serta para penduduk menaruh hormat kepadanya.

Karya Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid
Semasa hidup Habib Sholeh terkenal sebagai seorang Sastrawan yang pawai dalam merangkai syair-syair. Hal ini dikuatkan oleh penuturan salah satu keturunan Dia, semasa hidupnya Habib Sholeh gemar melantunkan syair-syair pujian kepada Allah SWT. Kemudian syair-syair tersebut dirangkai oleh salah satu muridnya bernama Uztad Abdullah Zahir. Kumpulan syair- syair tersebut dibukukan, kemudian diberi nama “Diwan Al-Isyqi Was- Shofa Fi mahabbati Al- Habib Al- Musthofa” yang memiliki arti (Antologi Asmara Nan Suci Tentang Cinta Nabi Terkasih Al- Musthofa). Di dalam kitab tersebut termuat sebanyak 105 qasidah yang dicetak menjadi 59 halaman. Dimana pada setiap qosidah terdapat tema pembahasan yang berbeda- beda.

Habib Sholeh mengungkapkan rasa cinta pada Rasulullah, Ahlul Bait serta nasehat-nasehat dalam rangkaian syair arab dalam model Assyi’rul Humaini (semacam puisi rakyat Yaman) dan menggunakan tingkat kebahasaan yang sangat tinggi, bukan sejenis Syair Arab Fusha yang bisa dipelajari menggunakan Ilmu Arudh. Menurut penuturuan keturunan Dia, karya syair Habib Sholeh memilki tingkatan sastra yang sangat tinggi. Beberapa keluarga ataupun ulama sudah mencoba beberapa syair untuk diterjemahkan. Namun mereka mengakui kerumitan dalam proses penggubahannya.

Salah satu qasidah Habib Sholeh yang terkenal dan sering dilantunkan oleh para munsyid yaitu, Qasidah Ya ahla Baitin Nabi. Dalam syair ini, Habib
Sholeh mengungkapkan tentang keutamaan mencintai keluarga Nabi Muhammad SAW.

Selasa, 30 Juni 2020

Syekh Abdul Malik (Mbah malik)



Syekh Abdul Malik (Mbah malik)

Purwokerto adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah. Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai budaya Banyumasan.

Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya. Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).

Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya. Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini. Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.

Silsilah dan Pendidikan

Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir. Melihat hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad Ash’ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur).

Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto. Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan “Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.

Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci. Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram.

Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja. Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir As atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain. Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada para jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.”

Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama dan Guru-Guru

Setelah belajar al-Qur’an dengan ayahnya, asy-Syaikh kemudian mendalami kembali al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci. Diantara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha’ dan Sayyid Muhammad Syatha’, keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya. Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad’aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib ‘Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas Bogor.

Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi al-Makki (Mekkah). Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi’i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira’ah sab’ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu.

Disamping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak. Dalam ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in).

Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Thoha bin Yahya al-Magribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin al-Musawwa, asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang). Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridhwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas al-Maliki al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani), Sayid Ahmad an-Nahrawi al-Makki, Sayid Ali Ridha. Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, asy-Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur asy-Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama

Sepulang dari pengembaraan, asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar.

Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar al-‘Allamah. Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Perjuangan Fisik

Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya. Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial.

Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.

Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.

Kepribadian Syaikh Abdul Malik

Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahim para pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyah al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Keluarga Syaikh Abdul Malik

Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).

Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik berkata padanya, “Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.

Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, “Pak Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya. Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.

Murid-murid Syaikh Abdul Malik

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah an-Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain. Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.” Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka. Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.

Pesan Syaikh Abdul Malik

Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah dicontohkan Rasululah Saw. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin. Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur’an di manapun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur’an dan qari’-qari’ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya. Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah Saw serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.

Syekh Abdul Malik wafat

Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Senin, 29 Juni 2020

Syekh Muhammad Nafis al banjary



Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (lahir di Martapura, Kesultanan Banjar, 1735 - meninggal di Kelua, 1812 adalah salah seorang Ulama Banjar yang cukup dikenal sebagai tokoh sufi yang tegas dalam melawan segala bentuk penindasan.

Salah satu permata Kalimantan pada jaman dulu adalah Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari lahir sekitar tahun 1150 H (1735M) di Martapura Kabupaten banjar Kalimantan selatan,beliau adalah keturunan sultan kerajaan banjar dan nasabnya bersambung sampai ke Pangeran Suriansyah atau Pangeran Samudera ,sultan pertama kerajaan banjar yang memeluk agama islam dan terus bersambung sampai ke Raja pertama ke Rajaan Daha Kalimantan yaitu Pangeran suryanata atau Raden putera suami dari Puteri Junjung Buih,nasab beliau adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kusuma Yoeda bin pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin sultan Tahlillah bin sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta'in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Sejak muda beliau sangat cinta akan ilmu ,sehari hari digunakan beliau untuk menuntut ilmu agama baik itu ilmu tauhid,fiqih ,tasawuf maupun ilmu ilmu lainnya,sehingga kegemaran beliau ini membawa beliau melanglang buana mencari ilmu sampai ke Mekkah,diperkirakan jaman Syekh Muhammad nafis ini bertepatan dengan jamannya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari,dan sebagian guru guru Syekh Muhammad Nafis juga guru guru dari Syekh Muhammad Arsyad,adapun sebagian guru guru beliau adalah :
!.Syekh Abdullah Hijazi As-Syarkawi
2.Syekh Siddiq bin Umar Khan
3.Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-seman Al-Madani
4.Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz Al-Banjari
5.Syekh Muhammad Al-Jawhari
Setelah berada ditanah air dengan berbekal ilmu yang diperoleh beliau dari Tanah Suci Mekkah beliau berdakwah kebeberapa daerah di nusantara ini,untuk mangajak masyarakat mengESAkan Allah,karena keluasan dan ketinggian ilmu beliau serta kegigihannya dalam berdakwah oleh masyarakat Sumatera beliau diberi gelar ' MAULANA AL-ALLAMAH AL-FAHHAMAH AL-MURSYID ILAA THARIQ AL-SALAMAH AS-SYEKH MUHAMMAD NAFIS IBN IDRIS IBN HUEIN AL-BANJARI
 (Tuan Guru yang sangat alim yang menunjukkan kejalan keselamatan Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari)
Berbeda dengan syekh Muhammad Arsyad yang sepulang dari Makkah terus mengembangkan ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat Desa Dalam Pagar dan banyak mempunyai kesempatan menulis sejumlah kitab,Datu Nafis atau Syekh Muhammad Nafis ini berkelana dari suatu daerah kedaerah lainnya sehingga beliau hanya sempat mengarang satu buah kitab yaitu Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah) kitab Ad durrun Nafis tersebut pada ,mulanya dikarang beliau karena permintaan dari teman temannya namun akhirnya banyak diminati dan tersebar keseluruh dunia dan membuat nama beliau menjadi harum,kitab Ad-Durun Nafis tersebut tidak saja dicetak atau diterbitkan didalam negeri,tetapi juga dicetak diluar negeri seperti ditemukan menurut urutan tahun adalah:
1.Terbitan thn 1313 H oleh Mathba'ah Al-Karimul Islamiah di Mekkah
2.Terbitan thn 1323 H oleh Mathba'ah Al-Miriah di Mekkah yang terbuat sebagai hamisy (tepi) Kitab Hidayatus Salikin Karya Syekh Abdus Shamad Al-Palembani
3.Terbitan thn1343 H oleh percetakan Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa Awladihi
4.Terbitan thn 1347 H oleh Darut Thaba'ah Al-Mishriyah Mesir
5.Terbitan Kedai Sulaiman Mar'i,Bashrah Sreet Singapore tanpa tahun
6 Terbitan Maktabah Sulaiman Mar'i wa Syirkahu Surabaya indonesia tanpa tahun
7.Terbitan Maktabah As-Saqafah tanpa tahun
8.Terbitan Maktabah Haramain Singapore tanpa tahun
9.Terbitan Ahmad Sa'ad bin Nabhan Surabaya tanpa tahun
10.Terbitan Maktabah salim Nabhan Surabaya tanpa tahun
Kitab yang berbahasa melayu ini merupakan kitab kecil dan tipis tetapi isinya sangat padat yaitu berisi ajaran Tauhid yang tinggi yang menjelaskan tentang ke ESA an ALLAH dari segi ZAT,SIFAT ASMA dan AF'AL tujuannya untuk melepaskan segala macam penyakit hati,tetapi kitab ini tidak bisa dipelajari oleh sembarangan orang,kecuali orang yang sudah mantap fiqih,tauhid dan ma'rifatnya,untuk menulis kitab ini Datu Nafis disamping menggunakan bahan yang diperolehnya dari guru guru beliau juga menggunakan literatur sebagai pengambilan antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
1.Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli Syarah Dalailul Khairat
2.Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi Al-Mishri Syarah Wirdu Syahrin
3.Abdul Wahab Asy-Sya'rani Al-Jawahir wad Durar
4.Muhibbudin ibnu Arabi Futuhal Makiyyah Fushushul Hikam
5.Abdul ghani An-Nabulusi Syarah Jawahirun Nushushu fi Halli Kalimatil fushush
6.Ibnu ' Athaillah al-Iskandari Al-Hikam
7.Ibnu Raslan Syarah Hikam
8.Ibnu 'Abbad Syarah Hikam
9.Abdul Karim Al-Jili' Insanul kamil
10.Siddiq Ibnu 'Umar Syarah Qashidah 'ainiyyah
11.Sayyid Musthfa Ibnu Qamaruddin Al-Bakri Wirdi Syahrin
12.Syekh Muhammad bin Abdul karim As-samani Al-manhah Al-Muhammadiyah,Iqhatsatul Lahfan,'Anwanul jaluwwah fii Sya'nil Khalwah
13.Abu Hamid Al-Ghazali Ihya 'Ulumid Din ,Minhajul Abidin
14.abdullah bin Ibarahim Mirghani Mukhlish Mukhtasar Tuhfah al Mursalah
15.Abdul karim Al-Qusyairi Risalah Qusayriah
Dalam kitab tersebut beliau menyatakan bahwa beliau pengikut Mazhab Syafi'i dalam Fiqih,Imam Asy'ari dalam hal Tauhid ,Imam Junaidi dalam Tasawuf,Qadiriyah Tarekatnya ,syattariyah pakaiannya,naqsabandiyah amalannya,Khalwatiyah makanannya dan Sammaniyah minumannya.
Seorang yang kasyaf didaerah Amuntai yaitu Drs .Tabrani mengatakan bahwa kitab Ad-Durrun Nafisberisi bagian ilmu dari para wali ,barang siapa mempelajarinya maka ia akan dicatat oleh para wali tersebut sebagai bagian dari mereka,ini merupakan salah satu karamah dari Datu syekh Muhammad nafis Al-Banjari,selain itu kubur beliau pernah berpindah dengan sendirinya empat kali dari Kotabaru,Pelaihari lalu Martapura dan terakhir diKelua dan inilah yang sering di ziarahi orang sampai sekarang.... tepatnya di Mahar Kuning Desa Binturu Kecamatan Kelua Kabupaten Tabalong Tanjung,beliau wafat sekitar tahun 1200 H atau 1780 M.

Minggu, 28 Juni 2020

KH Muhammad syarwani abdan ( Guru bangil )



GURU BANGIL (Guru Muhammad Syarwani Abdan Albanjari)

K.H Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari atau biasa dikenal Tuan Guru Bangil (lahir di Martapura, Kalimantan Selatan tahun 1915 – meninggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, 11 September 1989 pada umur 74 tahun) adalah seorang ulama yang dikenal di Kalimantan Selatan hingga Jawa Timur khususnya Bangil tempatnya mendirikan Pondok Pesantren Datu Kalampayan. Ia merupakan keturunan ke-6 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari adalah seorang ulama kharismatik yang memiliki kedudukan yang agung dan keilmuan yang tinggi disisi Allah SWT. Sejak beliau kecil sudah terbina iman tauhid dan hati yang bersih untuk bermunazat kepada Dzat Yang Maha Agung dan Suci. Siapa yang tidak mengenal ketawadhuan dan kearifan Beliau dalam menegakkan Dakwah Islam dan menyejukkan jutaan hati Hamba Allah agar selalu MengingatNYa. Sungguh Orang yang berjalan untuk mencari ilmu dan mendatangi Majelis Ilmu yang beliau pimpin mendapatkan karunia dariNya.

Riwayat Singkat Tuan Guru Syech Sarwani Abdan Al Banjari

Syech Allah Yarham Al Mukarramah Al Alimul Allamah Al Fadil Syarwani Abdan atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Bangil adalah cicit buyut dari ulama terkenal diseantero Asia dan Saudi Arabia, pada usia sekolah beliau menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam (madrasah darussalam) Martapura yang saat itu dipimpin oleh paman beliau sendiri yaitu Al Alimul Allamah Tuan Guru Muhammad Kasyful Anwar bin H. Ismail. Beliau juga belajar dengan para Alim Ulama terkenal lainnya di Kota Martapura.

Setelah beberapa lama di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, Tuan Guru Syarwani Abdan berkeinginan untuk menuntut ilmu dan mendapati Kota Bangil sebagai tujuan memperdalam ilmu dengan Alim Ulama lainnya. Beliau akhirnya memutuskan untuk bermukim di Kota Bangil dan belajar kepada Ulama Terkenal di Bangil dan Pasuruan diantaranya KH. Muhdar Gondang Bangil, KH. Abu Hasan Wetan Angun Bangil, KH. Bajuri Bangil dan KH. Ahmad Jufri Pasuruan.

Menginjak usia 16 tahun, Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari dengan dasar keilmuan yang tinggi berangkat ke Tanah Suci Mekkah Al Mukarramah untuk menuntut ilmu bersama saudara sepupu beliau yakni Al Alimul Allamah Tuan Guru Anang Sya’rani Arif dibawah bimbingan paman beliau sendiri yakni Al Allimul Allamah Tuan Guru Muhammad Kasyful Anwar. Selama berada di Mekkah, Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari sempat belajar dan berguru dengan para ulama diantaranya, Syech Sayyid Muhammad Amin Alkutbi, Syech Sayyid Ali Al Maliki, Syech Umar Hamdan, Syech Muhammad Alwi, Syech Hasan Masysyat, Syech Abdullah Albukhari, Syech Saifullah Addakistan, Syech Syafi’i Keddah dan Syech Sulaiman Ambon serta Syech Ahyat Bogor.

Dengan berkat, taufik dan hidayah dari Allah SWT, hanya dalam beberapa tahun Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari dan Al Alimul Allamah Tuan Guru Anang Sya’rani Arif mulai dikenal diantara teman-teman dan para Alim Ulama karena kepandaian dan kedalaman ilmu keduanya, sehingga mereka dijuluki Mutiara dari Banjar, bahkan Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan mendapat kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram Mekkah. Setelah berjalannya waktu hingga 10 tahun lamanya menimba ilmu di Tanah Suci Mekkah, Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari dan Al Alimul Allamah Tuan Guru Anang Sya’rani Arif Al Banjari pulang ke Indonesia. Setelah berada di tanah air beliau menggelar pengajian majelis ta’lim di rumah dan mengajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Beliau juga pernah ditawi untuk menduduki jabatan Qadhi Martapura, namun beliau tolak dan beliau lebih senang mandiri dan berkhidmat dalam dunia pendidikan agama. Lebih kurang dalam tahun 1946, Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari memutuskan hijrah ke Bangil beserta seluruh keluarga hingga akhir hayatnya.

Sewaktu di Kota Bangil Al Mukarram Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari tidak mau membuka pengajian dikarenakan begitu tawadhunya beliau dan menyadari bahwa Bangil bukan wilayah Beliau. Namun para Alim Ulama di Jawa Timur menyadari dan mengetahui ketinggian ilmu dan Wara nya Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari sehingga bagaimanapun beliau menyembunyikan ilmu dan amal beliau namun diketahui jua oleh Alim Ulama Jawa Timur.

Mendirikan Pondok Pesantren Datu Kelampaian di Bangil

Setelah beberapa tahun menetap di Kota Bangil, maka lebih kurang dalam Tahun 1970 an barulah Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari membuka Pondok Pesantren DATU KELAMPAIAN yang santrinya kebanyakan berasal dari Kota Serambi Mekkah Martapura Kalimantan Selatan, diantara santri yang pertama kali belajar belajar di Pondok Pesantren ini adalah Muhammad As’ad bin Alimul Fadhil Qadhi H. Muahmmad Arfan Dalam Pagar Martapura.

Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari menulis Kitab diantaranya adalah :
1. Kitab Addakhiratussaminah Li Ahli Istiqomah (Simpanan berharga bagi orang yang istiqomah).

Tuan Guru Syarwani Abdan Al Banjari pada hari senin Jam 19.00 WIB pada tanggal 11 September 1989 dipanggil kepangkuan Allah SWT dalam usia 76 tahun dan dimakamkan di Kota Bangil.
Semoga Guru Bangil yang kita cintai ditinggikan derajatnya disisi Allah SWT. Amien..

KH Abdul Hamid (Ki hamid pasuruan)



KH Abdul Hamid (Ki hamid pasuruan)
Biografi KH Abdul Hamid © KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan

Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.

Masa Kecil

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.

“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.

Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.

Menjadi Blantik

Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.

Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
_______________________________________________

Di kalangan kaum tradisi seperti warga NU keberadaan kiai selalu dikaitkan dengan tingkat spiritualitas,  dan kemampuan yang “menyalahi kebiasaan” atau khariqul ‘aadah atau yang disebut karomah. Kiai yang memiliki spiritualitas tinggi dan dianugerahi karomah ini sering disebut “kiai khos”  (khaash), bahkan sering dianggap waliyullah. Tapi memang tidak banyak kiai yang bisa mencapai derajat kiai khos. Satu dari yang tidak banyak itu adalah Kiai Abdul Hamid atau Mbah Hamid dari Pasuruan, Jawa Timur. Bagi masyarakat Pasuruan dan Jawa Timur, pengasuh Pesantren Salafiyah ini bukan nama yang asing,  walaupun tidak pernah berkiprah di dunia politik sebagaimana para kiai kondang umumnya.

Abdul Hamid lahir tahun 1914 di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ayahnya,  Kiai Abdullah bin Umar, seorang ulama asal Lasem, sedangkan ibunya Raihanah,  putri KH Shiddiq yang juga berasal dari Lasem. Mula-mula belajar agama kepada kakeknya, dan kemudian dilanjutkan di pesantren kakeknya,  KH Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Setelah menikah dengan putri Kiai Ahmad Qusyairi ia pindah ke Pasuruan, dan melanjutkan kepemimpinan pesantren yang didirikan mertuanya itu. Pesantren yang nyaris kosong karena ditinggal para santri ini, di tangan Kiai Hamid berkembang pesat.

Salah satu karomah Kiai Abdul Hamid yang masyhur di kalangan warga Pasuruan adalah kemampuannya berada di berbagai tempat dalam waktu bersamaan dengan wujud serupa. Disebut ilmu mlipat bumi.  Hal ini terjadi, antara lain,  saat Habib Baqir Mauladdawilah berkunjung ke pesantrennya. Suatu hari habib yang punya kemampuan melihat sesuatu yang gaib ini datang menemui Kiai Abdul Hamid. Waktu itu banyak  orang yang datang untuk meminta doa atau keperluannya yang lain. Setelah bertemu, Habib Baqir kaget lantaran orang yang terlihat seperti KH Abdul Hamid ternyata bukan Mbah Hamid. Sebab orang  yang ditemuinya adalah sosok gaib yang menyerupai. Kemudian ia mencari di mana sesungguhnya Mbah Hamid yang asli berada. Setelah ia selidiki dengan menggunakan ilmu gaibnya, ternyata Mbah Hamid yang asli sedang berada di Mekah.

Karomah KH Abdul Hamid juga pernah ditunjukkan kepada seorang habib sepuh yang datang kepadanya. Ia bertanya  ke mana sang Kiai pergi ketika digantikan oleh sesosok gaib yang menyerupainya. Mbah Hamid tidak menjawab, tetapi langsung memegang habib tua itu.  Seketika itu kagetlah ia, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah. Subhanallah, ternyata habib sepuh tadi dibawa Mbah  Hamid mendatangi Masjidil Haram. 

Berikut ini cerita KH Muhammad Yunus atau Mbah Yunus dari Tulungagung. Kata dia, suatu ketika Mbah  Hamid berkata bahwa Nabi Khidir akan datang di kediamannya besok pagi hingga waktu dzuhur. Pada saat itu kebetulan Mbah Yunus sedang berada di kediaman Mbah Hamid.  Keesokan harinya orang-orang pun datang, ingin jumpa Khidir. Bahkan menurut Mbah Yunus ada beberapa Habib dengan berpakaian jubah lengkap dengan surbannya juga hadir disitu ingin bertemu Nabi Khidir.

Ketika orang-orang berkumpul, Kiai Yunus dipanggil oleh Mbah  Hamid dan diminta agar mendekat. Beberapa saat kemudian datanglah seorang pemuda mengenakan pakaian  yang sedang ngetren waktu itu. Orang-orang yang hadir tidak begitu memperdulikan pemuda yang pakaiannya berbeda dengan mereka.

Ketika bertemu Mbah Hamid, pemuda itu langsung bersalaman  dan mencoba mencium tangannya. Mbah Kyai Hamid menolak dan justru dia sendiri yang ingin mencium tangan pemuda itu. Pemuda itu menolak. Kiai  Yunus yang menyaksikan adegan tersebut, kemudian diberitahu oleh Mbah Hamid bahwa pemuda itu adalah Nabi Khidir. Lalu sang pemuda berganti pakaian dengan pakaian yang sudah kotor. Ia  membersihkan selokan di sekitar kediaman Mbah Hamid sampai waktu dzuhur. Kemudian pergi.

Seusai shalat dzuhur, salah seorang yang hadir  bertanya kepada Mbah Hamid kapan Nabi Khidir akan datang.  Mbah Hamid menjawab bahwa orang yang membersihkan selokan tadi adalah Nabi Khidir.

Di kalangan para ulama,  khasnya ahli tarekat, terdapat kepercayaan bahwa Nabi Khidir masih hidup, dan akan terus hidup sampai kiamat datang.  Nabi ini dinamakan Khidir yang berarti hijau karena kedatangannya selalu membawa kehijauan di sekitarnya. Rumput yang awalnya kering, misalnya,  akan menjadi hijau subur jika didatangi Nabi Khidir. Cerita   tentang Nabi Khidir memang terdapat dalam Alquran (Al-Kahfi ayat 65-82). Yakni bagaimana kisah Nabi Khidir yang mengajarkan ilmu dan kebijaksanaan kepada Nabi Musa. Namun,  asal usul dan kisah lainnya tentang Nabi Khidir tidak banyak disebutkan. Selain Khidir, ada tiga nabi lain yaitu Idris, Ilyas dan Isa, yang diyakini sebagai sosok yang tetap hidup  atau abadi.

Dalam khazanah Islam orang-orang yang dikisahkan pernah berjumpa Nabi Khidir adalah Rasuullah s.a.w., para sahabat seperti Abu Bakr, Umar ibn  Khaththab, Ali ibn Abi Thalib, Al-Walid ibn Abdul Malik ibn Marwan, Ibrahim At-Taimi, Umar ibn Abdil Aziz, Ibrahim Al-Khawas, Bisyir Al-Hafi,Abdul Hakim At-Turmudzi, Abdul Malik Ath-Thabari, Abu Bakar Al-Kattani, Abu Abbas Al-Qashhab, Syekh Abdul Qadir Jailani, An-Nuri, Muhammad Suyah An-Naqshabandi, Abul Hasan Asy-Syadzali, Abu Su’ud ibn  Syibli, Abu Abdillah Al-Quraisyi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Abul Abbas Al-Arabi, dan lain-lain.

Jejak Nabi Khidir di Nusantara terdapat dalam sejumlah kisah auliya atau para wali seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati. Sedangkan kalangan ulama yang lebih mutakhir yang diceritakan pernah bertemu dengan Nabi Khidir antara lain,   Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadhrotusy Syaikh Hasyim Asyari, KH Munawwir Krapyak, KH KH Muhammad Shiddiq Jember, Syaikh Abu Ibrahim Woyla Aceh, KH Hamim Jazuli alias Gus Miek — dan tentu saja Mbah Hamid Pasuruan yang tadi diceritakan.
Wallahu alam bishowab 🙏🏻

Datu Daha Nagara ( SURGI TUAN)



Riwayat Datu Daha Nagara ( SURGI TUAN)

Sebetulnya untuk penulisan riwayat para waliyullah kali ini saya banyak pertimbangan yang mana yang harus didahulukan penulisannya,ada banyak riwayat yang bersamaan,atas beberapa pertimbangan akhirnya saya putuskan untuk menulis riwayat tentang seorang ulama dari Nagara Hulu Sungai Selatan Kandangan,nama beliau adalah Syekh Muhammad Thaher bin Haji Syahbuddin atau sering dipanggil orang Datu Daha,satu riwayat mengatakan bahwa beliau adalah salah satu murid dari Syekh Muhammad Thaib atau kerap dipanggil Datu Taniran yang bergelar Haji Sa'duddin bin haji Muhammad As'ad bin Puan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.yang ini masih dalam pemikiran penulis ,disatu riwayat bahkan ini sangat terkenal bahwa beliau sempat bertemu dengan Datu Sanggul,sedang Datu Sanggul ini kehidupannya malah lebih dulu dari Syekh Muhammad Arsyad yang merupakan Datuk dari Datu Taniran yang merupakan guru Datu Daha...wallahu a'lam bissowab...yang mana yang benar riwayat ini...tapi tidak ada yang tidak mungkin kalau sudah mencakup masalah kewalian,

Pada pertengahan abad ke 18 pelabuhan yang terbesar dinusantara berada diBanjarmasin (Borneo),bersamaan pada saat kebesaran kerajaan Banjar,ada yang menyebutnya Bandar Masih ada pula yang menyebutnya Bandar Asin,banyak para saudagar Nusantara yang singgah kesana ada dari pulau jawa,sulawesi,sumatra bahkan sampai negara lain seperti Malaysia,Cina,India dan orang Arab dari hadrol Maut,mereka singgah untuk berdagang dipelabuhan Banjar,pada masa itu terdapat kota kota pelabuhan sungai seperti Muara Bahan (Marabahan),Muara Muning (Rantau) Daha (nagara HSS),dan Amuntai.
pada masa itu setiap orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Mekkah Al-Mukarramah hanya bisa lewat laut,yang mana biasanya orang ikut kapal dagang.Alkisah tersebutlah seorang Datu dari Daha (Nagara Dipa) yang bernama Muhammad Thaher bin H.Syahbuddin,yang ingin menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci,bersama rombongan beliau berangkat melalui pelabuhan Nagara dengan kapal kecil,kemudian ikut kapal dagang yang besar melalui pelabuhan Bandar Masih,setelah berpindah pindah dari kapal orang jawa sampai kekapal yang lebih besar milik orang Arab hadrol Maut untuk menuju pelabuhan Jeddah,pejalanannya itu sendiri memakan waktu sampai 6 bulan perjalanan,ditengah perjalanan menuju pelabuhan Jeddah ini ditengah lautan konon tiba tiba kapal berhenti mendadak tanpa ada penyebabnya,tidak ada batu karang yang menghalangi atau menabrak kumpulan lumpur,kebingungan Kapten kapal dan penumpang pun semakin menjadi jadi karena gelombang besar menerjang kapal dan mengakibatkan air banyak masuk kekapal,ditengah kebingungan ini akhirnya Kapten kapal meminta ahli nujum pendapat bagaimana cara mengatasi masalah tersebut,setelah merenung beberapa saat akhirnya ahli nujum ini mengatakan kalau mereka ingin keluar dari masalah itu mereka harus mengeluarkan salah satu penumpang yang bernama Muhammad Thaher orang dari Daha,akhirnya dengan berat hati untuk menyelamatkan penumpang yang lainnya terpaksa hal tersebut diucapkannya dihadapan penumpang lainnya dan memanggil Datu Daha,akhirnya dengan peralatan seadanya Datu Daha dikeluarkan dari kapal tersebut,ditengah gelombang besar dan angin ribut tidak ada yang bisa dilakukan oleh datu Daha selain berserah diri memohon pertolongan kepada ALLAH SWT,setelah sekian lama dihempaskan gelombang akhirnya beliau tidak sadarkan diri,pada saat itu ALLAH berkehendak lain,angin kencang menghempaskan tubuh beliau kepinggir pantai,tidak berapa lama beliau siuman kembali,menyadari dirinya selamat dan sudah berada dipinggir pantai maka ia langsung mengucap puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang masih memberikannya kesempatan untuk hidup didunia ini,dengan kekuatan yang masih tersisa akhirnya beliau bangkit dan berjalan menyisir pantai,dari kejauhan beliau melihat secercah cahaya terang dari sebuah tempat ,mungkin sebuah perkampungan pikir beliau,disepanjang jalan banyak terlihat makam makam yang terpelihara dengan rapi,dengan kepenatan dan kelelahan akhirnya beliau melihat orang tua,kemudian beliau mengucapkan salam dan dijawab orang tua tersebut dengan salam pula,dengan isyarat orang tua tersebut meminta Datu Daha mengikutinya dan membawa Datu Daha kesebuah rumah,setelah beristirahat sebentar akhirnya Datu Daha menceritakan seluruh pengalamannya dari awal sampai akhir dan menceritakan tujuannya untuk menunaikan ibadah haji,orang tua itu dengan serius mendengarkan cerita Datu daha,kemudian Datu Daha menanyakan perihal kampung tersebut yang terlihat hanya rumah orang tua tersebut dan kuburan kuburan,orang tua tersebut menjelaskan bahwa memang dikampung itu tidak ada perumahan an dia hidup sendiri sedangkan kuburan kuburan yang dilihatnya disepanjang jalan adalah kuburan orang orang yang tenggelam dilaut yang dikuburkannya disini,mendengar hal tersebut Datu Daha sangat gembira sekali dan yakin orang tua tersebut adalah Nabi Khaidir AS,lalu beliau bertanya
"Apakah sampeyan yang bernama Nabi Khaidir??....."benar!!..sayalah Nabi Khaidir" jawab orang tua tersebut....
"Alhamdulillah dengan ijin dan rahmat ALLAH telah memberikan anugerah NYA sehingga mempertemukan ulun (bahasa halus untuk saya (banjar))dengan sampeyan, setelah mengucapkan kata kata tersebut Datu Daha langsung memeluk dan mencium Nabi Khaidir AS,setelah itu dengan suara rendah penuh permohonan dan sikap hormat beliau memohon kepaa Nabi Khaidir untuk menolongnya supaya tercapat niatnya menunaikan ibadah haji,dengan suara penuh wibawa Nabi Khaidir berkata " Insya ALLAh,dengan ijin ALLAH niat kamu untuk beribadah haji akan terkabul,tetapi kamu harus bermalam disini dulu selama 3 hari 3 malam untuk menungggu jum'ad tiba,karna pada hari itu akan datang seorang Wali Alllah saudaraku dari tanah borneo yang tiap hari jum'ad selalu singgah kesini ,dia biasanya sholat jum'ad di Mesjidil Haram makkah,nanti kamu ikut dengannya" mendengar keterangan Nabi Khaidir makin bertambah kegembiraan Datu Daha,karena selain akan tercapai hajatnya menunaikan ibadah haji,beliau juga akan bertemu dengan seorang wali dari negerinya sendiri yang bernama Syekh Abdus Samad (Datu Sanggul),meskipun Datu Daha cuma bermalam selama 3 hari,namun waktu yang singkat tersebut tidak beliau sia sia kan untuk menuntut bermacam macam ilmu dengan Nabi Khaidir AS,ketika malam jum'ad tiba Datu Daha melaksanakan ibadah semalam suntuk,sampai sampai iya tidak tahu lagi berapa rakaat sholat sunat yang dikerjakannya dan berapa zikir dan sholawat yang telah dibacanya,hingga tak terasa waktu subuh telah sampai,setelah sholat subuh disambung dengan wiridan hingga terbit matahari disambung lagi dengan sholat sunat Isyrak kemudian wiridan lagi sampai tiba sholat dhuha,setelah sholat dhuha dan berdoa,tiba tiba muncul dihadapan beliau seorang tua yang raut wajahnya penuh wibawa dan berpakaian sederhana,melihat ada orang dihadapannya Datu Daha langsung memeluk tubuh orang tua tersebut dan mencium kedua tangannya yang mulia,hal tersebut dilakukannya karena ada firasat yang kuat dari batinya bahwa orang tua tersebut adalah Datu Sanggul,orang yang ditunggu tunggunya dari borneo yang dikatakan oleh Nabi Khaidir sebagai Wali Allah yang akan singgah sebentar untuk menemui Nabi Khaidir kemudian melanjutkan perjalanan nya untuk sholat jum'ad di Masjidil Haram makkah atau di Masjid Nabawi Madinah Al-Munawwarah,Datu Sanggul mengucapkan salam kepada Nabi Khaidir yang kemudian dijawab oleh Nabi Khaidir dan Datu Daha,kemudian mereka saling mencium seperti layaknya cara bersalaman orang arab selanjutnya mereka saling mendoa kan.

kemudian Nabi Khaidir menceritakan tentang Datu Daha kepada Datu Sanggul dari awal sampai akhir dan meminta kepada Datu Sanggul untuk membawa Datu Daha menunaikan ibadah haji,Datu Sanggul mengangguk sambil berkata kepada Datu daha " baiklah sebelum kamu ikut aku berangkat ke Mekkah sebaiknya kamu mandi sunat dulu dan memakai pakaian ikhram " Datu Daha segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Datu Sanggul,stelah siap siap dan pamit kepada Nabi Khaidir Datu Sanggul kemudian berkata lagi kepada Datu Daha " pegang pinggangku dan pejamkan matamu"
Datu Daha kemudian memegang pinggang Datu Sanggul dan memejamkan matanya,hanya sekejab Datu Sanggul kemudian menyuruh ia membuka matanya kembali,betapa terkejutnya Datu Daha tiba tiba mereka sudah berada ditempat yang datu Daha belum pernah mengetahui,datu Sanggul berkata " sekarang kita sudah sampai di salah satu pintu Masjidil Haram yaitu pintu Babussalam yang mana disunatkan kepada kita apabila masuk Masjidil Haram lewat pintu ini,selanjutnya apabila kamu sudah selesai melaksanakan ibadah haji dan akan pulang kekampung halaman tunggulah aku pada hari jum'ad dipintu sini.." setelah Datu Daha mengucapkan terima kasih kemudian mereka berpisah,Datu Daha kemudian memasuki Masjidil Haram pada waktu itu musim haji masih satu bulan lagi,orang orang masih belum datang,yang mana digunakan Datu Daha untuk beribadah kepada ALLAH,baru setelah satu bulan mulai berdatanganlah para jamaah haji,pada saat itulah rombongan jamaah haji dari Daha datang,betapa terkejutnya mereka melihat Datu Daha,masing masing mereka meminta maaf kepada beliau karena tidak mampu mencegah waktu Datu Daha akan dilemparkan ketengah lautan,Datu Daha memaklumi dan memaafkan mereka semua kemudian beliau menceritakan pertemuan beliau dengan Nabi Khaidir dan Datu Sanggul wali dari pulau borneo,singkat cerita setelah melaksanakan ibadah haji Datu Daha kemudian menunggu datangnya Datu Sanggul,setelah bertemu dengan bahasa isyarat Datu Sanggul meminta Datu Daha untuk memegang tangannya dan memejamkan matanya seperti dulu,sekejab kemudian mereka sudah berada dipulau borneo,Datu Sanggul mengantarkan Datu Daha sampai ujung kampungnya dan menyuruh Datu Daha untuk berjalan agar para penduduk melihatnya,sebelum mereka berpisah Datu Sanggul berpesan kalau masyarakat bertanya beliau harus menjawab bahwa semua kejadian ini adalah anugrah dari ALLAH SWT,penduduk sangat terkejut dengan kedatangan beliau,karena beliau datang tidak pada saat semestinya,biasanya jamaah haji baru akan datang 2 bulan lagi,banyak yang tidak percaya bahwa Datu Daha telah melaksanakan ibadah haji dan menanyakannya tapi dijawab oleh Datu Daha seperti dipesankan oleh Datu Sanggul,dua bulan telah berlalu kemudian datanglah rombongan jamaah haji dari Daha,penduduk kemudian menanyakan kepada mereka perihal Datu Daha mengerjakan haji apa tidak,kemudian diceritakan oleh mereka dari awal sampai akhir tentang Datu Daha yang memeng betul betul berhaji dan mereka juga mengisahkan pada saat mereka akan pulang mereka mencari Datu Daha untuk bersama sama pulang,tapi mereka tidak menemukan Datu Daha yang tiba tiba saja menghilang seperti ditelan bumi,mendengar kisah itu makin kagumlah masyarakat dengan pengalaman Datu Daha berhaji.
setelah kembali ke Daha beliau segera menyebarkan ilmunya yang diperoleh dari Nabi Khaidir kepada masyarakat luas hingga diberi gelar Surgi Tuan karena ilmunya yang banyak.
suatu ketika negeri Daha dilanda kekeringan panjang hingga sungai sungai menjadi kering,masyarakat banyak meminta Datu Daha untuk memimpin sholat istisqa untuk memohon diturunkan hujan,setelah sholat tersebut aneh nya air keluar dari tanah sangat banyak hingga mampu memenuhi kebutuhan penduduk saat itu padahal saat itu hujan tidak turun,selain itu salah satu keramat beliau kubah tempat maqam beliau yang terletak didesa Teluk Haur,Nagara disebut orang Kubah Dingin karena suasana disekitar makam Datu Daha yang dingin dan sejuk meskipun diluar sangat panas,tidak tercatat kapan tahun wafatnya beliau,diantara murid murid beliau adalah :

1.Al-mukarram Tuan Guru Haji Abdurrahman Syarif makam Keramat Bagandi Nagara Kandangan HSS

2.Al-Mukarram Tuan Guru Haji Muhammad Sarasi Nagara Kandangan HSS
selamat sejahtera atas seorang hamba yang baik sejak ia dilahirkan hingga ia wafat dan nanti ketika ia dibangkitkan lagi,mudah mudahan kita semua dikumpulkan dengan junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para juriat beliau dan orang orang sholeh yang kita cintai diakhirat nanti..amiiin ya robbal alamin.